CaTaTaN: Slamet Oerip Prihadi
Indonesian Premier League (IPL) dan Divisi Utama PT Liga Prima
Indonesia Sportindo (LPIS) belum berjalan satu musim kompetisi, namun
sudah ada klub yang kehabisan dana bahkan terbelit utang.
Sampai-sampai Persema dan Gresik United pun mogok di tengah jalan. Untuk menggelar partai home pun nggak bisa! Ini awal bencana!
Sebenarnya bukan rahasia lagi bahwa klub-klub Indonesian Premier
League (IPL) setengah mati memperoleh dana. Hasil penjualan tiket
langsung disetor ke Bank Saudara (milik Big Boss Arifin Panigoro).
Karena itu, klub-klub tidak memiliki dana yang cukup, bahkan ada yang
ngutang-ngutang untuk mendapatkan dana operasional.
Hal inilah yang tadinya tidak terpikirkan oleh kita semuanya,
termasuk oleh manajemen klub IPL dan Divisi Utama LPIS. Berangkat dengan
semangat reformasi yang meledak-ledak, tadinya kita sangat optimistis
segalanya dipertaruhkan demi terciptanya kompetisi yang lebih
berkualitas dan fair. Tujuan utamanya adalah melahirkan pemain-pemain
Indonesia (bukan asing) yang lebih berkualitas.
Akan tetapi, yang terlihat kemudian kualitas kompetisi belum lebih
baik. Belum lebih fair, karena kepemimpinan wasit IPL tidak istimewa.
Tidak menyebabkan kita berdecak kagum.
Tanda-tanda awal kesulitan finansial sebenarnya sudah terasa sejak
putaran I IPL belum digelar. Arek-arek Persebaya misalnya, nilai
kontraknya berkurang 30 persen dibanding nilai kontrak musim 2010-2011.
Waktu itu, sebenarnya, sudah tebersit kecemasan, jangan-jangan musim
2012-2013 berkurang 30 persen lagi, dan musim 2013-2014 berkurang 30
persen lagi, hingga tinggal 10 persen dari nilai kontrak musim
2010-2011. Kalau sudah begitu, otomatis Persebaya pun akan bangkrut
(semoga tidak).
Manajemen PSM Makassar berontak ketika dana dari konsorsium tak
kunjung cair, lantas mereka memutuskan untuk mencari dana sendiri saja.
Gresik United pun berhenti di tengah perjalanan karena sudah tidak ada
dana lagi. Ratusan juta rupiah uang pribadi manajemen telah
terbelanjakan dan entah akan diganti atau tidak?
Salah seorang teman di Jakarta pernah berkata: “Biarkanlah para tokoh
PSSI Djohar Arifin beraksi. Jangan dimusuhi dan jangan dilawan, karena
mereka akan habis sendiri karena kehabisan peluru (dana).” Saat itu,
tentu kami sama sekali tidak percaya. Namun dengan kejadian-kejadian
akhir-akhir ini, kami pun teringat ucapan teman di Jakarta tadi.
Masalah inilah seharusnya yang dipikirkan dan diperjuangkan habis-habisan oleh Ketum PSSI Djohar Arifin Husin dan kabinetnya.
Apakah kendala besar itu yang menyebabkan banyak klub lebih suka ikut ISL dan PT Liga Indonesia?
Kini tiba saatnya untuk berpikir jernih dan jauh ke depan. Sebab,
masalah ini sudah tidak berkaitan lagi dengan pasal legal atau illegal.
Hal ini lebih menyangkut masalah tanggung jawab, kepercayaan publik, dan
kesungguhan hati.
Mungkin sekarang inilah saatnya bagi kita untuk tidak terjebak pada
dikotomi IPL dan ISL, PT Liga Prima Indonesia Sportindo dan PT Liga
Indonesia. Pasalnya, yang dinilai oleh rakyat Indonesia saat ini adalah
siapa yang lebih bertanggung jawab, konsisten dari tahun ke tahun bahkan
dari dasawarsa ke dasawarsa!
Semoga kecemasan ini tidak berlarut. Semoga ketidakpastian ini segera
berakhir. Sepak bola memang bukan hal yang murah dan mudah. Inilah
pelajaran yang paling berharga bagi kita semua.
Bila kita semua balik ke semangat para leluhur: rukun agawe santoso
(rukun membuat kesentosaan), tidak pecah belah seperti sekarang ini,
seberat apapun tanggungan dan problem yang menghantam, insya Allah akan
ada jalan ke luar terbaiknya.
Kami sama sekali tidak berniat memojokkan salah satu kubu. Kami hanya
membaca tanda-tanda yang sangat mencemaskan. Bagaimana nasib Persema,
Gresik United, tokoh-tokoh bola di Malang dan Gresik, dan seluruh pemain
serta ofisialnya. Sungguh, ini sebuah kenyataan yang pahit!*
No comments:
Post a Comment